Folk of Surabaya = Kecamatan Sambikerep

Cantik - Ladang Rosella salah satu aset Sambikerep (dok KIM Sambikerep)
Mendengar dan membaca folk, pikiran kita terarah kepada salah satu genre musik. Pernah mendengarkan lagu yang bertajuk AKAD. Yang reffrainnya terucap seperti ini : "Bila nanti waktunya telah tiba, kuingin kau menjadi istriku.. Berjalan bersama dibawah terik dan hujan, berlarian kesana kemari dan tertawa......" Jadi teringat masa" 15 tahun lampau waktu awal merayu bundanya Aisyah. Hihihi, maaf... Lanjut ya, Payung Teduh nama grup musik ber-genre folk yang memopulerkan  lagu "akad" seperti menyeruak diantara serbuan musik elektrik dan digital. Lalu apa hubungannya dengan kecamatan Sambikerep. Folk secara harafiah saya artikan sebagai tradisi (sama dengan tradisional) atau kerakyatan. Bisa juga dimaknai dengan sesuatu yang khas/konten lokal/etnis. Banyak konten lokal Sambikerep yang hanya ada di Sambikerep tidak di tempat lain.

Misalnya olahraga "OKOL", okol disini bukan berarti olahraga pancho. Lebih dari itu salah satu jenis olahraga setempat yang hanya ada di Sambikerep ini adalah GULAT. Apa bedanya dengan gulat konvensional. Gulat 'okol' Sambikerep ini dalam memainkannya diiringi musik tradisional, mirip peragaan pencak silat. Meski jaman sudah jauh berkembang, internet dan gawai sudah banyak digunakan warga Kecamatan Sambikerep. Namun sisi 'folk",tradisi ataupun budaya leluhur  warga Sambikerep - Surabaya masih terjaga dengan baik. Selain gulat Sambikerep (baca : okol),  'Barikan Brondong', masih jadi salah satu tradisi yang melekat kuat di lingkungan masyarakat ini. Sebuah anomali di kota megapolitan macam Surabaya. BARIKAN BRONDONG adalah tradisi tolak petir yang sudah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun di lingkungan warga Sambikerep.

Penyelenggaraannya setiap setahun sekali, kala musim hujan. Proses doa dan Barikan Brondong selalu diselenggarakan pada Jumat Legi, dipercayai sebagai hari yang sakral. Bentuknya warga berkumpul, membawa brondong lalu berdoa minta keselamatan, dilakukan secara massal di suatu tempat tertentu. Brondong atau popcorn, ditaburi gula dan kelapa serut. Makanan ini diletakkan dalam bungkusan dari pelepah pisang. Jumlah satuan brondong diciduk dengan sebuah cepuk (alat ukut untuk ambil beras sebelum ditanak), disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Kalau sekeluarga ada 3 jiwa, maka brondong yang disiapkan adalah 3 cepuk. Sementara di atas nampan brondong itu, ada rangkaian daun di antaranya daun otok atau pang'gil, daun kepodang, alang-alang, dan akar galing.

Daun otok mewakili kekuatan, untuk penangkal petir, Daun kepodang menyimbolkan pengayoman agar dijauhkan dari marabahaya, daun alang-alang melambangkan kesucian. Pilihan menggunakan pelepah pisang dengan alasan sifatnya yang multifungsi. Hampir seluruh bagian tanaman pisang bisa digunakan. menjadi simbol kerukunan masyarakat yang heterogen. Dulunya wilayah ini sering terkena sambaran petir, sehingga muncul tradisi barikan brondong. Sangat unik dan menarik, bagi warga Surabaya dewasa ini, menambah keguyupan serta kerukunan warga Sambikerep. Kecamatan Sambikerep sendiri terdiri dari kelurahan Sambikerep, Lontar, Made dan Beringin, memiliki luas 23,68 km2 dengan total populasi 78334 jiwa. Salah satu kecamatan yang masuk wilayah Surabaya Barat.

Rute terberat dalam rangkaian mblancang Surabaya 2017 adalah trek di Sambikerep. Saya bersyukur saat masuk wilayah ini matahari sudah mulai meredup. Keluar dari wilayah Kecamatan Benowo yang berbatasan dengan wilayah kelurahan Beringin. Oleh kawan-kawan patwal saya sengaja dicarikan jalur landai. Maklum daerah Sambikerep konturnya bergunung-gunung dan lebih tinggi dari daerah lain di kota Surabaya. Bisa jadi karena datarannya lebih tinggi sehingga sering terkena "serangan petir". Namun meski disebut "jalur landai"m yang melewati area perumahan Citraland, tetap saja melewati jalur tanjakan di wilayah Sambikerep. Saya sampai harus mengayuh pedal sambil berdiri guna menambah power ayunan kaki. Alhamdulillah saat adzan maghrib berkumandang rombongan kami sudah masuk ke wilayah kelurahan Lontar.

Area Sambikerep kami lalui dengan "sosialisasi garingan" alias hanya berkunjung ke salah satu tokoh pegiat sosialnya. Suwarno namanya adalah modin dan pekerja sosial masyarakat keluarahan Lontar dan kecamatan Sambikerep. Saat kami berkunjung ke rumahnya, Warno laki tengah baya yang kami sambangi masih di musholla untuk ibadah sholat maghrib. Tidak menunggu lama, setelah lima belas menit duduk meluruskan kaki di ruang tamu. Si empunya rumahpun tiba, sebotol pocari sweat dingin keluar dan segera membasahi tenggorokan saya sore itu. Berbicara efisien, kemudian saya menyampaikan maksud dan tujuan ke rumahnya dalam rangka sosialisasi KIM kepada warga Sambikerep. Kunjungan berakhir dengan diberikannya sepaket Buku KIM + buku lain dari donatur kami. Folk of Surabaya, menurut anda? (BnPY)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kecamatan Sukomanunggal jantungnya kota Surabaya

Teluk di Kecamatan Asemrowo yang membuat Keder Singapura